Rabu, 07 September 2016

Ilmu Kesehatan Masyarakat: DONE

Ilmu Kesehatan Masyarakat. Yap. Stase baru saya setelah radiologi. Satu-satunya stase non klinik yang harus saya lewati selama koas (KKN tidak termasuk stase ya. Itu mah, program khusus).
Stase ini tidak lama, hanya dua minggu. Namun karena cakupan ilmu kesehatan masyarakat itu sebenarnya sangat luas, dosen pembimbing stase kami membagi-bagi 13 orang kami untuk mengerjakan proyek-proyek kecil yang saling berbeda subdisiplin ilmu. Menurut dr Fatwa, dp kami, pembagiannya berdasar refleksi diri yang telah kami tuliskan di hari pertama stase ikm. Yang harus direfleksikan kurang lebih begini.. 1. Mau jadi apakah saya 10 tahun mendatang ketika, kira2 da di ouncak karir. 2. Apa kegiatan yang saya suka lakukan 3. Topik apa yang saya sangat senangi (tidak harus kesehatan).
Saya jawab saja refleksi itu sesuai keinginan hati, hehe.. itung-itung curhat. Dan hasil dari refleksi itu menyebabkan saya diamanahi untuk belajar di proyek pembinaan Dusun Bedoyo, Cangkringan. Pembagiannya seperti di bawah ini..
Bareng stefi dan katika lagii...


Dusun Bedoyo adalah salah sebuah dusun yang menjadinbagian dari Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, kecamatan paling utara dari Propinsi DIY. Bedoyo terletak 23 km perjalanan dengan motor saya, dari rumah. Tidak terlalu jauh bukan? Hanya jalan kaliurang ke utara terus, nanti belok kanan di lampu merah setelah SMP 4 pakem, belok kiri sewaktu pom bensin, dan jalan lurus terus ke arah gunung, nanti akan ada tulisan: pedukuhan Bedoyo. Itulah lokasi belajar kam

Menurut mbak Winni Tumanggor, SKM, MPH, tutor pribadi saya selama ikm ini, Dusun Bedoyo dibina ikm terutama dalam pengelolaan sampah yang selama ini belum dilakukan oleh warga. Tidak ada pasukan kuning-kuning yang setiap hari berkunjung untuk mengangkut sampah mereka. Warga, yang kebanyakan petani, banyak yang membuang sampah di parit sawah. Sampah plastik dan organik jadi satu. Ada juga yang masih lumayan peduli, telah tahu bahwa plastik tidak bisa busuk, alih-alih membuang di parit justru membakarnya. Bukankah itu hanya mengalihkan dampak dari parit ke paru-paru manusia.

Nah, gimana sih sebetulnya kondisi dusunnya. Jujur, waktu dibagikan tugas proyek itu pun, saya belum tahu seperti apa bentukan dusun Bedoyo. Tapi itu tidak lama. Sore hari setelah pembagian tugas, kami semua yang terlibat di pembinaan desa, berkunjung ke dusun Bedoyo. Berharap segera menemui titik paham dari tugas kami.

Pukul 15.30 kami berangkat ke Dusun Bedoyo. Berdelapan. Saya, Stefi, Kak Tika, Danang, beserta tutor-tutor pribadi kami, Mbak Winni, Mbak Vera, Mas Fahmi, dan mbak Fitri. Sempat terjadi hal yang tidak mengenakkan selama proses berangkat. Saya tertinggal di belakang. Heu. Karena prinsip saya dalam berkendara, boleh cepat dan ngebut, tapi janganlah selap selip kanan kiri terlalu banyak. Tetap berusaha sopan dengan pengendara lain lah saat berkendara. Hehe. Alhasil saya ketinggalan dibelakang. Syukurlah jalan ke Dusun Bedoyo tidak terlalu masuk ke dalam. Jalannya cukup lurus (ya tapi tetap melengkung-lengkung sih), tidak banyak belok ke cabang jalan. Ketinggalan rombongan pun alhamdulillah bisa saya atasi dengan menanyakan lokasi Bedoyo pada pedagang di pinggir jalan.

Sesampainya di jalan utama Dusun Bedoyo saya segera menemukan teman-teman saya yang meninggalkan sayaaaa. Huhu. Tapi saya tak tega mau bilang kalau mereka tega. Sudahlah, haha. Kamipun langsung berkeliling kampung, dibagi dua tim, empat empat. Berkeliling sembari observasi sekilas mengenai lingkungan dan sosiodemografi Dusun Bedoyo. Kami berkeliling dengan motor hingga ke persawahan di dekat  Kali Kuning yang ditempuh melalui jalan semen yang sempit dan sebenarnya tidak aman dilewati. Bahkan dari kami pun sudah jatuh satu korban, kak Tika. Beliau beserta motornya jatuh ke parit sawah dan terpaksa mengalami beberapa luka ringan. Motornya yang jatuh ke parit pun harus diangkat kami berempat agar bisa menapak jalan semen lagi. Syukurlah kak Tika tak mengalami sesuatu yang serius. Tapi ya, efek jeranya, kami jadi super hati-hati dalam berkendara di jalan tersebut.

Dusun Bedoyo awalnya tampak mirip dengan kampung saya, terdiri dari banyak rumah-rumah sederhana warga, kebanyakan tidak berpatar. Rumahnya ya biasa saja tidak ada yang masih dari anyaman bambu. Namun, emakin menyusuri gang, dan masuk ke gang lainnya, ternyata tidak semirip itu. Banyak rumah yang memiliki pekarangan luaaas, dengan pohon-pohon yang banyaaak. Setiap rumah pun memiliki kolam ikan untuk konsumsi sendiri, kebanyakan berisi ikan lele dan nila. Bukan ikan koi atau ikan mas ya. hhe, itu sih kolam penghias rumah. Selain beternak ikan, banyak warga memelihara ayam, itik, sapi, dan kambing. Itu mengapa selama berkeliling saya sering mencium bau prengus-prengus khas kambing, haha.

Dalam hal perekonomian, kebanyakan warga bekerja sebagai petani. Petani sawah, maupun ladang dan kebun. Sumber kegiatan ekonomi mereka lainnya adalah ternak, seperti yang sudah saya sebut tadi. Sawah dan ternak yang mereka kerjakan itu kebanyakan adalah milik mereka sendiri. Jadi sawah ya tanahnya punya sendiri, ternak juga punya sendiri. Dari hasil pekerjaan itulah mereka menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya.

Hanya satu yang disayangkan. Sekarang mereka mengalami krisis regenerasi. Anak-anak mereka yang sudah mereka sekolahkan susah payah dari hasil mencangkul, dan ngarit tidak ada yang berminat mencari penghidupan seperti orang tuanya. Padahal, dibandingkan jadi pegawai biasa lulusan SMA/SMK jadi petani cerdas di Dusun Bedoyo lumayan menghasilkan loh sepertinya. Ya, mungkin.. ah, entahlah.

Kembali ke tugas saya. Fokus penugasan yang diberikan pada saya dari departemen IKM adalah mengenai kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan lingkungan, terutama dalam pengelolaan sampah padat rumah tangga di Dusun Bedoyo ini. Harapan saya sih, saya dapat lebih memahami pandangan masyarakat akan isu kesehatan, mengapa mereka peduli atau tidak peduli pada isu tertentu, dan bagaimana cara pendekatan agar mereka peduli.

Menurut website endvawnow.org, kesadaran masyarakat atau yg bahasa inggrisnya disebut public awareness, adalah tingkatan pemahaman masyarakat akan suatu isu, beserta dampak dan implikasinya. Menyadarkan masyarakat akan suatu isu tersebut tidaklah sama dengan memberinya penyuluhan. Mungkin penyuluhan akan mudah bagi masyarakat dengan pendidikan tinggi, namun belum tentu mudah bagi masyarakat yang berhenti mendapat pendidikan formal lebih awal.

Berdasarkan video youtube referensi dari tutor yang saya tonton, mengenai penyadaran masyarakat Desa Tiweria, Ende, Sumba, penyadaran masyarakat sendiri terdiri dari tiga garis besar kegiatan:
  • Pra pemicuan, 
  • pemicuan, 
  • dan pasca pemicuan.  
Pada pra pemicuan, petugas kesehatan perlu membangun komunikasi yng baik dan kepercayaan dengan pemimpin masyarakat, ya istilahnya kulonuwun dulu lah kalo di jawa. Kalo sudah dapat izin masuk dari pimpinan, baru deh mulai memperkenalkan diri ke warga dan memberitahukan bahwa kita punya niat baik untuk membantu permasalahan yang ada di lingkungannya.

Pada proses pemicuan, kita perlu mengajak warga untuk secara aktif memetakan masalah yang terjadi. Dari pemetaan tersebut, kita ajak warga untuk bersama-sama menilai keparahan dari masalah yang terjadi, serta dampaknya. Nah, kadang masyarakat akan memiliki pandangana yang berbeda dengan petugas terdidik seperti kita dalam menyikapi suatu masalah lingkungan/kesehatan. Misal, bagi mereka buang sampah sembarsngan itu ga apa apa kok, tapi kita, kan sudah mengetahui bahwa itu tidak baik bagi lingkungan juga bagi kesehatan. Maka sebagai pihak yang lebih sadar, kita arahkan pemahaman mereka akan hal penting tersebut. Buat dia memahami dampaknya, bagi dirinya, ljngkungannya, dan orang-orang di sekelilingnya. Ketika dia sudah mulai sadar, maka akan lebih mudah memberi penyuluhan dan mengajak mereka untuk memperbaiki masalah tersebut secara bersama-sama. Tentu akan butuh dukungan daei semua pihak. Berat memang, tapi sebetulnya masyarakat itu mampu kok membuat hidup mereka menjadi lebih baik. Terbukti dari dokumentasi Desa Tiweria tadi. Pada awalnya, wargahya selah BAB di sembarsng tempat, buang sampah sembarsngan, dan membuang limbah cair juga sembarangan, setelah melalui tahap pemicuan itu, mereka bisa kok kerubah gaya hidup tidak baiknya.

Terakhir, pasca pemicuan.. saatnya untuk monitoring dan evaluasi program. Jika ada warga yang khilaf-khilaf lupa, ya dingatkan dengan sabar saja. Inti dari penyadaran masyarakat jni adalah : sabar. Sabar dalam menghadapi gap dan tantangan yang terjadi di lapangan. Dengan niat ikhlas dan sungguh-sungguh, insyaAllah masyarakat dapat lebih baik dengan adanya kita.

Sebelum saya, Kak Tika, Stefi, dan Danang kesana, tutor-tutor pribadi kami telah lebih dahulu mengerjakan proyek tersebut sejak bulan April 2016. Mereka telah melakukan pemetaan masalah, mengarahkan warga untuk menemukan masalah sampah tersebut, dan memotivasi warga untuk melakukan studi banding ke Bank Sampah Handayani dan Dusun Wisata Lingkungan Sukunan. Berkat usaha panjang mereka yang telah berbilang bulan itu, warga Dusun Bedoyo sekarang sudah mulai sadar untuk menjaga lingkungan dengan tidak membuang sampah sembarangan. Dari dua RW, yang satu sudah mulai rutin mengumpulkan sampah non organiknya pada tempat khusus yang kemudian dikumpulkan untuk dijual ke Dusun Sukunan. Dilain hal, RW yang kedua tampak perlu mendapat perhatian lebih. Program pengelolaan sampah baru dijalankan oleh beberapa warga saja. Usut punya usut, ternyata ketua program dari RW kedua ini kurang gencar mensosialisasikan program sampah itu. Berbeda dengan Ketua program dari RW pertama yang sangat gencar mempromosikan programnya.

Memang tidak banyak yang bisa saya lakukan dalam dua pekan stase IKM, namun entah mengapa berkesan sekali mempelajari IKM langsung dari masyarakat, bukan sekedar teori. Memang saya jadi sangat boros bensin untuk menempuh perjalanan 46 kilometer dari rumah-kampus-bedoyo-rumah, namun itu semua terbayar tatkala bertemu dengan keramahan warga di Desa sejuk nan permai di kaki merapi itu. Hasil dari pembelajaran saya selam dua pekan di Dusun Bedoyo akhirnya saya tampilkan ke dosen dalam bentuk poster berukuran A0. Besar, dan mahal biaya cetaknya, satu hal yang disayangkan dari stase IKM. Ah, tapi tak apalah, memang sudah harus diikhlaskan. Namun, saya tetap memberi saran ke penyelenggara koas IKM biaya tugasnya tidak terlalu membebani koas, kan kasihan.

Itu saja sih.

Yang jelas, saya bahagia dengan tugas saya selama IKM. Bersama warga desa memberi pengalaman baru yang menginspirasi. InsyaAllah saya segera kembali lagi ke masyarakat desa, dua pekan lagi, untuk KKN. InsyaAllah ilmu KKN nya bermanfaat. Terimakasih IKM, terimakasih dr Fatwa Sari Tetra Dewi, MPH, PhD, mb Winni, mb Fitri, mas Fahmi, dan teman-teman 16112 seperjuangan saya.

******
setelah syok kak Tika reda, foti duluu


Itik-itik Pak Bakat, sang ketua pengelol sampah RW 25, yg sukses itu

Sampah-sampah plastik menumpuk di paritan sawah

Sampah plastik dan kertas yang sudah dikumpulkan. Siap dijuall.

Candid by mbak Winni, lagi ngobrol seru dengan Pak Bakat

Nah, sampai pada pengujung juga kan. Ini nih, anggota lengkap koas Bedoyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar