Minggu, 18 September 2016

Satu Hal yang Dirindukan Semasa Kuliah

Ketika engkau resmi lulus dari kuliah, satu hal yang akan engkau rindukan adalah liburan. Gimana ngga kangen liburan, waktu masih kuliah S1 setahun bisa mendapat jatah libur tiga bulan. Lain halnya dengan sekarang ini, status masih mahasiswa, mahasiswa profesi maksud saya, tetapi, libur yang diberikan hanya sepuluh minggu untuk dua tahun. Njegleg sekali. Jujur saja. Tapi ya, Alhamdulillah. Terlebih libur-libur yang dijadwalkan oleh sekretariat profesi ada pada momen yang tepat, setiap sebelum stase besar misalnya (kecuali obsgyn, karena sebelumnya ada forensik yang juga ternasuk stase liburan. Hahahha). Dan Alhamdulillah, justru dengan libur yang sedikit ini, masa-masa liburan saya terasa sangat berarti. Berkumpul bersama Ibu dan Bapak lebih lama setiap harinya. Memanfaatkan waktu selagi beliau berdua masih menjadi orang yang harus saya nomor satukan. Kapan lagi coba?
Nah ya, inilah jadwal libur saya. Terselip di antara stase-stase koas.
#sedangsenangkarenaakhirnyadapatliburpanjang #mariproduktif

Rabu, 07 September 2016

Ilmu Kesehatan Masyarakat: DONE

Ilmu Kesehatan Masyarakat. Yap. Stase baru saya setelah radiologi. Satu-satunya stase non klinik yang harus saya lewati selama koas (KKN tidak termasuk stase ya. Itu mah, program khusus).
Stase ini tidak lama, hanya dua minggu. Namun karena cakupan ilmu kesehatan masyarakat itu sebenarnya sangat luas, dosen pembimbing stase kami membagi-bagi 13 orang kami untuk mengerjakan proyek-proyek kecil yang saling berbeda subdisiplin ilmu. Menurut dr Fatwa, dp kami, pembagiannya berdasar refleksi diri yang telah kami tuliskan di hari pertama stase ikm. Yang harus direfleksikan kurang lebih begini.. 1. Mau jadi apakah saya 10 tahun mendatang ketika, kira2 da di ouncak karir. 2. Apa kegiatan yang saya suka lakukan 3. Topik apa yang saya sangat senangi (tidak harus kesehatan).
Saya jawab saja refleksi itu sesuai keinginan hati, hehe.. itung-itung curhat. Dan hasil dari refleksi itu menyebabkan saya diamanahi untuk belajar di proyek pembinaan Dusun Bedoyo, Cangkringan. Pembagiannya seperti di bawah ini..
Bareng stefi dan katika lagii...


Dusun Bedoyo adalah salah sebuah dusun yang menjadinbagian dari Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, kecamatan paling utara dari Propinsi DIY. Bedoyo terletak 23 km perjalanan dengan motor saya, dari rumah. Tidak terlalu jauh bukan? Hanya jalan kaliurang ke utara terus, nanti belok kanan di lampu merah setelah SMP 4 pakem, belok kiri sewaktu pom bensin, dan jalan lurus terus ke arah gunung, nanti akan ada tulisan: pedukuhan Bedoyo. Itulah lokasi belajar kam

Menurut mbak Winni Tumanggor, SKM, MPH, tutor pribadi saya selama ikm ini, Dusun Bedoyo dibina ikm terutama dalam pengelolaan sampah yang selama ini belum dilakukan oleh warga. Tidak ada pasukan kuning-kuning yang setiap hari berkunjung untuk mengangkut sampah mereka. Warga, yang kebanyakan petani, banyak yang membuang sampah di parit sawah. Sampah plastik dan organik jadi satu. Ada juga yang masih lumayan peduli, telah tahu bahwa plastik tidak bisa busuk, alih-alih membuang di parit justru membakarnya. Bukankah itu hanya mengalihkan dampak dari parit ke paru-paru manusia.

Nah, gimana sih sebetulnya kondisi dusunnya. Jujur, waktu dibagikan tugas proyek itu pun, saya belum tahu seperti apa bentukan dusun Bedoyo. Tapi itu tidak lama. Sore hari setelah pembagian tugas, kami semua yang terlibat di pembinaan desa, berkunjung ke dusun Bedoyo. Berharap segera menemui titik paham dari tugas kami.

Pukul 15.30 kami berangkat ke Dusun Bedoyo. Berdelapan. Saya, Stefi, Kak Tika, Danang, beserta tutor-tutor pribadi kami, Mbak Winni, Mbak Vera, Mas Fahmi, dan mbak Fitri. Sempat terjadi hal yang tidak mengenakkan selama proses berangkat. Saya tertinggal di belakang. Heu. Karena prinsip saya dalam berkendara, boleh cepat dan ngebut, tapi janganlah selap selip kanan kiri terlalu banyak. Tetap berusaha sopan dengan pengendara lain lah saat berkendara. Hehe. Alhasil saya ketinggalan dibelakang. Syukurlah jalan ke Dusun Bedoyo tidak terlalu masuk ke dalam. Jalannya cukup lurus (ya tapi tetap melengkung-lengkung sih), tidak banyak belok ke cabang jalan. Ketinggalan rombongan pun alhamdulillah bisa saya atasi dengan menanyakan lokasi Bedoyo pada pedagang di pinggir jalan.

Sesampainya di jalan utama Dusun Bedoyo saya segera menemukan teman-teman saya yang meninggalkan sayaaaa. Huhu. Tapi saya tak tega mau bilang kalau mereka tega. Sudahlah, haha. Kamipun langsung berkeliling kampung, dibagi dua tim, empat empat. Berkeliling sembari observasi sekilas mengenai lingkungan dan sosiodemografi Dusun Bedoyo. Kami berkeliling dengan motor hingga ke persawahan di dekat  Kali Kuning yang ditempuh melalui jalan semen yang sempit dan sebenarnya tidak aman dilewati. Bahkan dari kami pun sudah jatuh satu korban, kak Tika. Beliau beserta motornya jatuh ke parit sawah dan terpaksa mengalami beberapa luka ringan. Motornya yang jatuh ke parit pun harus diangkat kami berempat agar bisa menapak jalan semen lagi. Syukurlah kak Tika tak mengalami sesuatu yang serius. Tapi ya, efek jeranya, kami jadi super hati-hati dalam berkendara di jalan tersebut.

Dusun Bedoyo awalnya tampak mirip dengan kampung saya, terdiri dari banyak rumah-rumah sederhana warga, kebanyakan tidak berpatar. Rumahnya ya biasa saja tidak ada yang masih dari anyaman bambu. Namun, emakin menyusuri gang, dan masuk ke gang lainnya, ternyata tidak semirip itu. Banyak rumah yang memiliki pekarangan luaaas, dengan pohon-pohon yang banyaaak. Setiap rumah pun memiliki kolam ikan untuk konsumsi sendiri, kebanyakan berisi ikan lele dan nila. Bukan ikan koi atau ikan mas ya. hhe, itu sih kolam penghias rumah. Selain beternak ikan, banyak warga memelihara ayam, itik, sapi, dan kambing. Itu mengapa selama berkeliling saya sering mencium bau prengus-prengus khas kambing, haha.

Dalam hal perekonomian, kebanyakan warga bekerja sebagai petani. Petani sawah, maupun ladang dan kebun. Sumber kegiatan ekonomi mereka lainnya adalah ternak, seperti yang sudah saya sebut tadi. Sawah dan ternak yang mereka kerjakan itu kebanyakan adalah milik mereka sendiri. Jadi sawah ya tanahnya punya sendiri, ternak juga punya sendiri. Dari hasil pekerjaan itulah mereka menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya.

Hanya satu yang disayangkan. Sekarang mereka mengalami krisis regenerasi. Anak-anak mereka yang sudah mereka sekolahkan susah payah dari hasil mencangkul, dan ngarit tidak ada yang berminat mencari penghidupan seperti orang tuanya. Padahal, dibandingkan jadi pegawai biasa lulusan SMA/SMK jadi petani cerdas di Dusun Bedoyo lumayan menghasilkan loh sepertinya. Ya, mungkin.. ah, entahlah.

Kembali ke tugas saya. Fokus penugasan yang diberikan pada saya dari departemen IKM adalah mengenai kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan lingkungan, terutama dalam pengelolaan sampah padat rumah tangga di Dusun Bedoyo ini. Harapan saya sih, saya dapat lebih memahami pandangan masyarakat akan isu kesehatan, mengapa mereka peduli atau tidak peduli pada isu tertentu, dan bagaimana cara pendekatan agar mereka peduli.

Menurut website endvawnow.org, kesadaran masyarakat atau yg bahasa inggrisnya disebut public awareness, adalah tingkatan pemahaman masyarakat akan suatu isu, beserta dampak dan implikasinya. Menyadarkan masyarakat akan suatu isu tersebut tidaklah sama dengan memberinya penyuluhan. Mungkin penyuluhan akan mudah bagi masyarakat dengan pendidikan tinggi, namun belum tentu mudah bagi masyarakat yang berhenti mendapat pendidikan formal lebih awal.

Berdasarkan video youtube referensi dari tutor yang saya tonton, mengenai penyadaran masyarakat Desa Tiweria, Ende, Sumba, penyadaran masyarakat sendiri terdiri dari tiga garis besar kegiatan:
  • Pra pemicuan, 
  • pemicuan, 
  • dan pasca pemicuan.  
Pada pra pemicuan, petugas kesehatan perlu membangun komunikasi yng baik dan kepercayaan dengan pemimpin masyarakat, ya istilahnya kulonuwun dulu lah kalo di jawa. Kalo sudah dapat izin masuk dari pimpinan, baru deh mulai memperkenalkan diri ke warga dan memberitahukan bahwa kita punya niat baik untuk membantu permasalahan yang ada di lingkungannya.

Pada proses pemicuan, kita perlu mengajak warga untuk secara aktif memetakan masalah yang terjadi. Dari pemetaan tersebut, kita ajak warga untuk bersama-sama menilai keparahan dari masalah yang terjadi, serta dampaknya. Nah, kadang masyarakat akan memiliki pandangana yang berbeda dengan petugas terdidik seperti kita dalam menyikapi suatu masalah lingkungan/kesehatan. Misal, bagi mereka buang sampah sembarsngan itu ga apa apa kok, tapi kita, kan sudah mengetahui bahwa itu tidak baik bagi lingkungan juga bagi kesehatan. Maka sebagai pihak yang lebih sadar, kita arahkan pemahaman mereka akan hal penting tersebut. Buat dia memahami dampaknya, bagi dirinya, ljngkungannya, dan orang-orang di sekelilingnya. Ketika dia sudah mulai sadar, maka akan lebih mudah memberi penyuluhan dan mengajak mereka untuk memperbaiki masalah tersebut secara bersama-sama. Tentu akan butuh dukungan daei semua pihak. Berat memang, tapi sebetulnya masyarakat itu mampu kok membuat hidup mereka menjadi lebih baik. Terbukti dari dokumentasi Desa Tiweria tadi. Pada awalnya, wargahya selah BAB di sembarsng tempat, buang sampah sembarsngan, dan membuang limbah cair juga sembarangan, setelah melalui tahap pemicuan itu, mereka bisa kok kerubah gaya hidup tidak baiknya.

Terakhir, pasca pemicuan.. saatnya untuk monitoring dan evaluasi program. Jika ada warga yang khilaf-khilaf lupa, ya dingatkan dengan sabar saja. Inti dari penyadaran masyarakat jni adalah : sabar. Sabar dalam menghadapi gap dan tantangan yang terjadi di lapangan. Dengan niat ikhlas dan sungguh-sungguh, insyaAllah masyarakat dapat lebih baik dengan adanya kita.

Sebelum saya, Kak Tika, Stefi, dan Danang kesana, tutor-tutor pribadi kami telah lebih dahulu mengerjakan proyek tersebut sejak bulan April 2016. Mereka telah melakukan pemetaan masalah, mengarahkan warga untuk menemukan masalah sampah tersebut, dan memotivasi warga untuk melakukan studi banding ke Bank Sampah Handayani dan Dusun Wisata Lingkungan Sukunan. Berkat usaha panjang mereka yang telah berbilang bulan itu, warga Dusun Bedoyo sekarang sudah mulai sadar untuk menjaga lingkungan dengan tidak membuang sampah sembarangan. Dari dua RW, yang satu sudah mulai rutin mengumpulkan sampah non organiknya pada tempat khusus yang kemudian dikumpulkan untuk dijual ke Dusun Sukunan. Dilain hal, RW yang kedua tampak perlu mendapat perhatian lebih. Program pengelolaan sampah baru dijalankan oleh beberapa warga saja. Usut punya usut, ternyata ketua program dari RW kedua ini kurang gencar mensosialisasikan program sampah itu. Berbeda dengan Ketua program dari RW pertama yang sangat gencar mempromosikan programnya.

Memang tidak banyak yang bisa saya lakukan dalam dua pekan stase IKM, namun entah mengapa berkesan sekali mempelajari IKM langsung dari masyarakat, bukan sekedar teori. Memang saya jadi sangat boros bensin untuk menempuh perjalanan 46 kilometer dari rumah-kampus-bedoyo-rumah, namun itu semua terbayar tatkala bertemu dengan keramahan warga di Desa sejuk nan permai di kaki merapi itu. Hasil dari pembelajaran saya selam dua pekan di Dusun Bedoyo akhirnya saya tampilkan ke dosen dalam bentuk poster berukuran A0. Besar, dan mahal biaya cetaknya, satu hal yang disayangkan dari stase IKM. Ah, tapi tak apalah, memang sudah harus diikhlaskan. Namun, saya tetap memberi saran ke penyelenggara koas IKM biaya tugasnya tidak terlalu membebani koas, kan kasihan.

Itu saja sih.

Yang jelas, saya bahagia dengan tugas saya selama IKM. Bersama warga desa memberi pengalaman baru yang menginspirasi. InsyaAllah saya segera kembali lagi ke masyarakat desa, dua pekan lagi, untuk KKN. InsyaAllah ilmu KKN nya bermanfaat. Terimakasih IKM, terimakasih dr Fatwa Sari Tetra Dewi, MPH, PhD, mb Winni, mb Fitri, mas Fahmi, dan teman-teman 16112 seperjuangan saya.

******
setelah syok kak Tika reda, foti duluu


Itik-itik Pak Bakat, sang ketua pengelol sampah RW 25, yg sukses itu

Sampah-sampah plastik menumpuk di paritan sawah

Sampah plastik dan kertas yang sudah dikumpulkan. Siap dijuall.

Candid by mbak Winni, lagi ngobrol seru dengan Pak Bakat

Nah, sampai pada pengujung juga kan. Ini nih, anggota lengkap koas Bedoyo

Minggu, 04 September 2016

Mengakhiri Stase Penuh ke Abu-Abuan di Radiologi

Sama mb Dian, administrator koas terbaiiik. Yang selalu sabar mengurus jadwal para koas. Yang baik banget selalu jadi penengah antara konsulen dengan koas. Terimakasih mba Dian sudah sangat membantu kerjaan saya selaku chief radiologi untuk teman kelompok saya. Saya jadi merasa bersyukur telah memilih jadi chief di radiologi. Loph you to the neptunus and back mbaak.

jeng Stefi, yang selalu barengan kemanapun rumah sakitnya, bahkan KKN 2 bulan pun insyaAllah barengan ya jeng ya? Hehe. Orang ter sabarrr, ter dewasaa. Paling kalem dalam memghadapi setiap masalah, paling tanggap kalo temennya lagi ada masalah. Pokonya , ter strong lahh. Sebagai sesama anak bekasi, gue patut bangga dengan jeng stef jni. Hehehe.

Pasca ujian akhir stase. Liaaat, tuh si Sofhi di depan shiny sekali, like a bride. Ane mah, nyumlik di belakang lagi urusan dengan mb Dian

Minus beberapa orang, ini kelompok besar saya untuk 4 stase besar plus stase radiologi. Bertepatan dengan hari keistimewaan kota Yogyakarta

Kebaya and batiks in a row. Sengaja janjian pake kebaya, biar makin menghayati hari keistimewaan jogja. Jiga foto-foto. Tetap yaa. Haha.


Alhamdulillah stase radiologi berakhir sudah. Stase kecil, ngale-ngale, tapi sangat bermanfaat ilmunya. Latian menginterpretasikan foto radiologi dengan kondisi pasien. Juga sekalian belajar patfis, pemfis, sx, ddx, tx penyakit. Yz, itung-itung dinstase radiologi ini sudah mencicil sedikit untuk stase Ilmu penyakit dalam, bedah, syaraf, anak, dan THT. Semoga berguna dan barokah ilmunya. 



Minggu, 14 Agustus 2016

Petuah Sepupu Rasulullah

"Tuntutlah ilmu, karena dengan itu kaliaan menjadi orang yang mengerti. Amalkanlah ilmu, karena dengan itu kalian akan menjadi ahlinya. Ketahuilah bahwa sesungguhnya dunia ini akan pergi menjauh, sedangkan akhirat makin mendekat, dan masing-masing mempunyai anak buah dan pengikut-pengikutnya. Oleh sebab itu, jadilah kalian pengikut akhirat dan sekali-kali jangan menjadi pengikut dunia"

'Ali ibn Abu Thalib 

Sabtu, 13 Agustus 2016

Katanya Cinta

Katanya cinta,
Tapi tidak menyukai yang disenangi Yang Dicintai,
Katanya cinta,
Tapi berpaling dari panggilan kecintaan-Nya,
Menunda-nunda untuk bersyujud syahdu keharibaan-Nya,
Katanya cinta,
Tapi meninggalkan sunnah utusan-Nya
Bagaimana bisa dibilang cinta?
Bagaimana?


Ataukah cinta itu goyah?

Rabu, 10 Agustus 2016

Bandung part 1














Kamis, 28 Juli lalu, selepas ujian akhir stase Obgyn, tiba-tiba ibu mengajakku ke Bandung tanggal 2-4 Agustus. Ibu ada tugas kantor seperti biasa, cuman karena tau aku ada libur sepekan sebelum masuk stase berikut, ya sudah sekalian aku diajak. Aku malah seneng banget. Hehe. Maklum, belum pernah ke Bandung samsek.

Lokasi wisata incaran::
Hhmm, ya sebenernya sih pengen bisa ke lokasi yang jauh-jauh dari pusat kota seperti Tebing Keraton, Kawah Ciwidey, Tangkuban Perahu, dan Lembang. Tapi berhubung kondisi yang tak memungkinkan, maka mau tak mau lokasi-lokasi yang masuk dalam list kunjungan kali ini terbatas di dalam kota saja.

Dari hasil web surfing serta kepo-kepo Pakdhe Google, ternyata (kelihatannya) banyak juga kok lokasi yang bisa dikunjungi dindalam Kota Bandung, dan kebanyakan relatif dekat dengan penginapan kami di Jalan Merdeka. Ya lumayan, masih terjangkau dengan jalan kaki. Ada Masjid Raya Bandung dan alun-alun, ada ITB, taman-taman tematik, sepanjang jalan Braga yang katanya khas itu, Gedung Sate, Pasar Baru, dan lain-lain.

Hari H keberangkatan - 1 Agustus
Kami kerangkat dengan kereta Turangga yang dijadwalkan berangkat dari Stasiun Tugu Yogyakarta pada pukul 21.28. Hmm, oke lah, masih malem. Sorenya masih sempet laporan ke mbak admin bagian Radiologi dan makan bareng Azka, sobat aku sejak SMP, sampe maghrib. Oh ya, akhirnya doi nyusul aku wisuda di periode Agustus 3 pekan lagi, dan sudah resmi jadi sarjana teknik sejak Juni lalu. MasyaAllah, cepet banget dah dia lulusnya, anak teknik kan biasanya gak cepet-cepet amat. Yang lebih mengharukan nih, besok dia resmi mulai kerja di salah satu kantor Arsitektur di Sleman. A lot of my friends already have jobs. And me, here, still enjoying my clinical clerkship. Haha. Gue terharu dengan pencapaian mereka.

Barakallah atas kelulusannya az

Back to topic.. baru pulang ke Rumah jam 19.00.. aku dan ibu langsung siap-siap berangkat. Bawaan ima ringan, tapi bawaan ibu yang berat. Pake bawa laptop dan buku-buku segala soalnya.

Setelah siap semuanya, kami berangkat ke Stasiun diantar Bapak jam 20.45. Di st Tugu sebelah utara ternyata sekarang ga boleh parkir, jadi kami hanya di-drop Bapak. Sampai di Tugu jam 21.05, pamitan sama Bapak, terus masuk ke dalam stasiun. Sambil nunggu kereta, aku nyoba kursi pijat di ruang tunggu. Harganya rp10.000/10 menit. Mayanlah pijetan dulu ngilangi capek karena blom sempat istirahat sore. Lumayan kok.

Keretanya telat. Alhamdulillah telatnya ga nyampe hitungan jam. Sekitar 15 menit lebih lambat dari jadwal, akhirnya sampe deh keretanya dan keberangkatan kami pun dimulai. Di kereta, alhamdulillah bisa tidur, walopun kebangun-bangun.. Perjalanan di kereta kurang lebih 9-10 jam. Agaknya kereta tak bisa melaju kencang maksimal karena beberapa kali berhenti di beberapa stasiun kota-kota yang dilalui.

Pukul 5.30 kami sampai di Stasiun Bandung, iya, akhirnya setelah 22 tahun kurang 24 hari, ima menginjakkan kakinya juga di kota kembang. Ya kalo ini untungnya gak molor dari jadwal sih.

Di Stasiun Bandung

Begitu turun dari kereta, srrr, angin berhembus dingin. Aku mengira stasiun ini begitu mewahnya, sampai-sampai, keretanya pun terparkir di ruangan berAC. Ternyata dugaanku prasangka yang salah, hehe.Itu hawa dingin asli Bandung yang memang dingin. Sip lah, tak perlulah aku kepanasan disini. Sebelum keluar stasiun untuk ke penginapan, ibu beli sarapan buat berdua di stasiun, p*p mie, sosis goreng, dan kopi. Semuanya dusajikan panas-panas. Sangt cocok menemani pagi yang dingin di kota kembang.

Pop mie dan secangkir kopi panas di pagi hari yang dingin
Transport ke penginapan
Sebelum berangkat, Bapak sudah mewanti-wanti supaya kami tidak naik taksi. Kami disuruh naik GoCar ato Uber saja. Oh ya, sebetulnya penginapan kami hanya berjarak sekilo meter dari stasiun. Jalan bisa juga sebetulnya kalau bawaannya ringan, tapi tas ibu beraat sekali, ima yang membawakan tas juga nggak kuat kalau disuruh jalan sekilo. GoCar gagal dipanggil, tak ada drivernya sekitar sini. Uber ternyats belum terinstal di hape ibu. Hapeku entah kenapa belum berhsil terinstal.Akhirnya kami nyarter angkot buat ke penginapan seharga 25ribu atas indikasi gagal menemukan jurusan angkot yang tepat sampai tujuan. Tidak terlalu mahal sih, namun kan lumayan selisih harga 19ribu dibanding jika naik angkot tarif normal. Selisihnya bisa untuk naik angkot berkali-kali. Tapi sudahlah, agaknya ibu berniat menyalurkan rejeki ke pak supir itu.

Jalan-jalan pagi
Ternyata baru pukul 7 ketika kami sampai di penginapan, 5 jam lebih awal dari jadwal check-in. Daripada melongo, ndomblong nunggu check in, mending keliling dulu. Alhamdulillah penginapan kami terletak cukup di tengah kota. Kami memutuskan pergi ke situs terdekat yang nge-hits banget, yaitu alun-alun dan Masjid Raya. Hanya berjarak 1,1 kilo menirut gmap. Dalam jarak segitu, insyaAllah ibu masih kuat lah jalan kaki. Tak perlu naik angkot yang justru malah lebih jauh dan resiko ngetem, kami pun ke alun-alun dengan jalan kaki.

Untuk ke Alun-alun, kami melewati jalan Braga. Pada jam 7.30, masih lengang kendaraan, dan belum ada mobil yang parkir di sepanjang jalan. Toko-toko dan kantor-kantor pun belum ada yang buka. Jalanan braga nampak anggun dimataku. Seperti jalanan di Eropa kata ibu. Badan jalan dibuat dari batu-batu persegi bukannya aspal. Sepanjang jalan ada bangku panjang, tempat yang asik untuk duduk menikmati suasana selagi sepi. Bahkan, bangunannya pun, sepertinya mirip-mirip tipenya, seperti bangunan zaman belanda dulu. 



Fotonya ibu semua, ima ngumpet dulu


Menurut petugas parkir setempat, ke Masjid Raya lebih dekat jika melalui jalan kampung. Jadi sebelum jalan braga berakhir, kami menyeberang jalan dan masuk ke gang sempit hingga mencapai ujung jalannya.. 
Bagian pangkal jalan tikus yg kami lewati. Tampak beberapa warung. Pagi itu jlannya sepi, andai saja disuruh jalan sendiri, mungkin aku tidak akan mau lewat jalan ini.

Semakin masuk gang, adanya rumah-rumah warga.. 

Ada sungai membelah jalan. Entah apa namanya, apakah sungai alami atau buatan. Sungai yang sama dengan yang ada di sepanjang timur Jl Cikapundung. Sayang sekali airnya berwarna coklat, coba kalau agak jernih, layak difoto.
Ibu di tengah-tengah jembatan. 
Selepas kami keluar dari gang tikus tersebut, sampailah kami di pinggir jalan besar. Ramai sekali jalannya, berbeda dengan jalan Braga Tadi. Kalau di googlemap namanya Jalan ABC/ jalan naripan. Untuk melanjutkan perjalanan ke Masjid Raya, kami menyebrperang jalan dari sisi utara jlan ABC menuju ke jalan Cikapundung. Jl Cikapundung itu ada di tepian sungai. Sungai yang sama dengan gambar di atas. Di pinggir jalan, pada sisi yang menghdap sungai ada banyak pedagang kaki lima yang menggelar tenda mereka. Berjualan makan. Ah sebenarnya sayang sekali pemandangan tersebut. Alangkah indahnya jika di pinggir sungai tersebut dihiasi taman yang indah, seperti halnya yang banyak terdapat di tepi Chao Phraya di Bangkok.

Kami terus menyusuri jalan Cikapundung. Perjalanan tak terasa hingga tiba-tiba kami sudah sampai di ujung jalan Cikapundung, sebuah pertigaan yang sangat ramai. Di googlemap, jalan diSangat padat kendaraan, namun semuanya ngebut. Dari sisi utara pertigan, saya melihat dinding yang kereen, ini nih..



Juga ada Tugu Asia Afrika



Tidak jauh dari tugu tersebut, kalauntidak salah di depan Gedung Asia Afrika, trotoarnya juga cantik sekali. Disusun kursi-kursi panjang terletak saling paralel satu sama lain, kemudian di tepi jalan diberi banner-banner bapak negara, Ir Soekarno. Kalau ibu bilang, itu seperti di Eropa.


Sebetulnya dari sekitar bangku itu Menara Masjid Raya juga sudah terlihat. Waah..

Dan akhirnya aku dan Ibu sampai di Masjid Raya Bandung.


Rumput hijau membentang itu taklain adalah rumput imitasi. Kita harus melepas sepatu dulu kalau mau menginjaknya.

Terlihat beberala orang beraktivitas di alun-alun masjid. Ada yang sekedar berfoto-foto, menikmati udara pagi, anak anak bermain dan berlarian, juga ada sekelompok siswa sekolah yang sedang ada jadwal pelajaran penjaskes. 

Tetapp ya. Selfie. Mohon maaf lahir dan batin.

Kombinasi yang baik antara langit cerah, masjid indah, dan halaman yang tertata rapi

Semedi di tengah karpet rumput

Terdapat playground di tepian alun-alun Masjid Raya Bandung

Mencoba masuk masjid, barangkali bisa menunaikan barang dua rokaat shooat tahiyatul masjid. Ealah, rupanya masjidnya penuh nuh jamaah dzikir, lupa nama persatuannya apa.
Berhubung tidak bisa sholat di dalam Masjid Raya, kami pun berniat caw dari sana menuju destinasi lain. ITB, Institut Teknologi Bandung. ITB ini adalah situs penting bagiku, mengapa? Karena disanalah tempat Bapak kuliah, mengenyam ilmu perlistrikan juga ilmu kehidupan. Sebagian idealisme dan prinsip hidupnya tumbuh di kampus tersebut. Maka, tanpa Allah menghadirkan Bapak di ITB, mungkin pribadi seorang ima akan berbeda sekarang. Fix, Itebe adalah tempat yang harus ima kunjungi.

Dari Masjid Raya naik taksi ke ITB. Iya, taksi. Sangat bukan gaya backpacker ya? Hehe. Ya, kan sama Ibu. Ibu ngga boleh kecapean ngebolang cari angkot ke ITB. Selain itu, memang waktunya mepet dengan mulainya acara ibu di Jalan Merdeka, jadi taksi adalah moda yang terpilih.

Tak berselang lama, kamipun dapat taksi. Dan si Ibu tetiba langsung berinisiatiff bilang ke pak supir, "Pak, mampir Gedung Sate ya?" Dan si Pak Supir pun mengiyakan. Ulalaa, boleh juga lah, aku kan penasaran bentukannya gedung Sate. Sambil taksi melaju, sambil aku cek rutenya dj Google Map, ya, ngecek aja gitu, biar tau rute dan lokasinya. Dan sesampainya di depan Gedung Sate, maak, ternyata dilarang stop. Tapi Pak Sopir tetap aja menurunkan ka i disana. Gak papa katanya, asal bentar saja. Oke pak, kami menyanggupi. Aku dan Ibh turun, menikmati sekilas. Oooh, ini tho Gedung Sate yang terkenal itu, lalu cekrek-cekrek, selfie. Hehe. Gimana lagi, dokumentasi perjalanan adalah sesuatu yang perlu. Selain itu waktu kami memang sempit, setelah dhuhur harus sudah sampai di penginapan karena acara ibu akan segera mulai jam 13.00.




Setelah dirasa cukup, tidak sampai tiga menit pun kami langsung masuk taksi lagi. Hmm, sebenernya gak asik nih kalau buru-buru. Ya, mungkin kapan-kapan  kalau selow waktunya bisa diulang lagi kesananya. Selanjutnya, hanya 5 menit saja, atau bahkan kurang, kami sudah sampai ITB.

Di depan gerbang masuknITB, ada semacam tugu kecil, di bawahnya tertulis Institut Teknologi Bandung. Ibu protes, kok ukurannya kecil sekali. Orang bisa nggak mengetahui klau itu ITB. Hm, Ibu, mungkin saja yang bangun tugu itu tidak ingin tercipta kesan angkuh dari tulisan yang besar-besar itu. Bisa jadi kan? Memang disamakan dengan UGM? Hihihi

Setelah foto di depan gerbang, kami tidak serta merta memasuki bagian dalam kampus ITB. Masjid Salman dulu ah, masjid yang digadang-gadang memiliki keunikan berupa tidak adanya kubah, dan tiang penyangga ditengahnya itu. Halamannya lumayan luas. Kamar mandinya luas, puas buat wudhu. Jamaah yang hendak sholat ambil mukenah di loket mukena (hehhe, aku menybutnya loket). Bagi jamaah putra, kalau mau mengeringkan bekas air wudhu di badan, bisa ambil kain yang disediakan oleh petugas sana. Pengunjung bisa ambil teh anget gratis. Ada kantin yang makanannya lengkap. Ada semacam kantor dan kantor takmir gitu. Hmm, kalau tidak salah juga ada asramanya disana.
Di Masjid Salman, a



Begitu sampai ITB, kami disambut oleh Petrea volubilis yang bermekaran indah di gerbang masuk ITB. Di tengah-tengah jalan masuk ke ITB, ada semacam tug